Usaha-usaha untuk mengarahkan keyakinan, sikap, nilai dan perilaku suatu kelompok sasaran mempunyai berbagai sebutan. Kalangan kiri terbiasa dengan menyebut sebagai kegiatan propaganda. Sedangkan para pelaku dan pendukung kegiatan itu memakai istilah pendidikan. Pada dasarnya kegiatan semacam ini sangatlah biasa, dan bisa ditemui di semua negara. Masing-masing mempunyai alasan dan tujuan berbeda sesuai dengan sudut pandang tiap negara. Di negara yang totaliter, hanya satu kelompok yang diijinkan melakukan kegitan penyebaran ide, yaitu pihak penguasa, dengan alasan kepentingan negara. Sehingga hanya ada satu jenis ide yang ditawarkan di pasar ide. Sedangkan di negara lebih terbuka, semua kelompok berhak untuk melakukan hal itu sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Dengan demikian terdapat lebih dari satu ide yang ditawarkan di pasar ide.
Para pengusung ide ke pasar disebut dalam banyak nama, propagandist, agitator, pemimpin kharismatik, publicist, lobbyists, agent of change dan lain-lain. Dalam pengertian sempit, tugas mereka adalah membuat dan menyebarkan pesan persuasi. Namun bagaimanapun juga komunikasi yang efektif hanyalah bagian dari keseluruhan kegiatan yang dibutuhkan agar suatu ide bisa diterima pasar. Penerimaan terhadap suatu ide, seperti juga penerimaan terhadap suatu produk/servis apa saja, membutuhkan pemahaman yang mendalam atas kebutuhan (needs), persepsi, preferensi, kelompok referensi dan pola perilaku dari kelompok sasaran. Selain itu, dibutuhkan juga penyusunan beberapa hal berikut : pesan, media, biaya dan fasilitas yang dibutuhkan untuk meningkatkan penerimaan atas ide. Menurut Kotler dalam Frederiksen, Solomon dan Brehony (1984), usaha-usaha ini disebut dengan istilah social marketing (SM). SM menawarkan sebuah sistem konseptual yang efektif untuk memecahkan suatu masalah sosial dengan memberi perubahaan di tingkat ide atau bahkan perilaku pada publik sasaran.
Para commercial marketer yang sejak lama menggunakan konsep marketing untuk meningkatkan penjualan. Mereka juga seringkali harus berfikir keras untuk bis “berkata manis” pada konsumen. Seringkali mereka justru terlihat menipu konsumen. Dan saat ini, mereka berangsur-angsur mengaitkan berbagai produk mereka dengan ide-ide tentang bagaimana masyarakat seharusnya menjalani hidup. Pemasar mobil mengemukakan bahwa mobil keluarga yang dijualnya merupakan perwujudan rasa tanggung jawab suami pada istri dan keluarga, pilihan anak yang paling tepat, serta wujud rasa sosial mereka karena bisa menampung kerabat lain. Sebuah rokok kretek mengungkapkan keutamaan rasa hormat pada orang tua dan komitmen pada kemanusiaan yang dikaitkan dengan merek tersebut. Sedang rokok yang lain menonjolkan rasa persahabatan yang erat dan hangat di tengah keceriaan kehidupan remaja.
Lalu bagaimana dengan ide-ide menjalani hidup yang lebih baik tanpa dikaitkan dengan merek-merek produk atau layanan komersial? Apakah kita bisa memasarkan ide tertib lalu lintas, anti korupsi, anti pornografi, peduli lingkungan sebagai mana adanya ide tersebut? Mungkin SM bisa memberi alternatif untuk mengarahkan perubahan sosial ke arah yang diinginkan. (bersambung)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar