Sabtu, 07 Maret 2009

Social Marketing sebagai Alat Perubahan Sosial (4 selesai)

 

Bidang SM telah berkembang demikian cepat seiring dengan semakin pentingnya posisi praktisi pemasaran di perusahaan-perusahaan multi nasional. Penggunaan perspektif pemasaran untuk menangani kampanye-kampanye sosial, seringkali menemui beberapa kendala, baik dalam aspek konsep ataupun sumber daya manusia. Tidak bisa dibantah bahwa bidang SM berasal dari perspektif pemasaran yang berpijak pada konsep bisnis komersial. Oleh sebab itu, seringkali para profesional SM pada awalnya adalah pemasar komersial.

Namun melihat kegunaannya dalam kehidupan praktis, SM tidak akan pernah ditinggalkan hanya karena dilahirkan dari rahim kegiatan bisnis komersial. Andreasen, Gould dan Gutierrez (2000) justru melakukan inovasi lewat Social Marketing Institute, dengan cara mengundang perusahaan-perusahaan multi nasional untuk meminjamkan para eksekutif di level top manajemen kepada mereka. Para profesional ini diminta untuk menjadi CEO atau konsultan dalam suatu proyek kampanye jangka pandek atau menengah, sesuai dengan kesepakatan. Setelah kegiatan berakhir, para profesional bisa kembali ke perusahaan asal. Dengan program ini diharapkan secara tidak langsung kalanan bisnis akan mempunyai pengalaman di bidang SM dan mendorong kemajuan bidang ini. Dari sisi perusahaan, mereka akan mandapatkan simpati dari konsumen berkaitan dengan kepeduliannya terhadap kualitas hidup masyarakat.

Bagi akademisi lain, seperti George Brenker, dalam majalah Marketing News (April 29, 2002), mengingatkan para praktisi SM untuk selalu secara seksama mempertimbangkan masalah etika dalam perancangan program SM. Hal ini berkaitan dengan iklan dan beberapa alat komunikasi pemasaran yang mempunyai sifat alami untuk cenderung menipu konsumen atau paling tidak memanipulasi pesan untuk sesuatu efek emosi.

Kekhawatiran dan keyakinan atas penggunaan SM sangat wajar bagi masyarakat, terutama kalangan akademis. Namun lepas dari dua kutub argumen itu, SM memberi kemungkinan bagi masyarakat luas untuk mencoba menerapkan alat ini untuk mengarahkan kepada suatu perubahan sosial yang diinginkan. Dalam lingkup kecil, seperti RT atau RW, bukan tidak mungkin sebuah isu penting bisa diawali, misalnya gerakan kebersihan lingkungan. Tidak ada salahnya mencoba konsep SM dengan beberapa penyesuaian, selama tujuan yang ditetap bermanfaat bagi masyarakat.

Daftar Pustaka

Andreasen, Alan R (1998) Alternative Growth Opportunities for Contraceptive Social Marketing      Programs, Journal of Health Care Marketing Volume 8, No.2 June.

Andreasen, Alan R, Rob Gould, Karen Gutierrez (2000) Social Marketing Has New Champion, Advertising Age, Feb 7.

 Frederiksen, Lee W, Laura J Solomon, Kathleen A Brehony (1984)  Marketing Health Behavior – Principles, Techniques and Applications, Plenum Press, New York

 Gorin, Sherri Sheinfeld, Joan Arnold (1998) Health Promotion Handbook, Mosby, Missouri.

 Kotler, Phillip, Alan R Andreasen (1995) Strategi Pemasaran untuk Organisasi Nirlaba, Gadjah Mada University Press, Jogyakarta.

Kotler, Philip (1997). Manajemen Pemasaran, Prenhallindo, Jakarta.

 Leathar, DS, G B Hastings (1987) Social Marketing and Healt Education, Journal of Services Marketing, Volume 1 No. 2 Fall.

 Lynch, Michael (1997) Applying Behavior Change Theory to Donor Management, Fund Raising Management, February.

 Murphy, Ruth, David Crowther.(2002) “Social Responsibility and Marketing : An Agenda for Research”, Management Decision 40/4.

 Oglethorpe, Janet E (1995). Infant Feeding as a Social Marketing Issue : A Review, Journal of Consumer Policy 18:293-314.

 Reichert, Tom, Susan Heckler, Sally Jackson (2001). The Effect of Sexual Social Marketing Appeals on Cognitive Processing and Persuasion, Journal of Advertising, Volume XXX, No 1 Spring.

 Rice, Ronald E, Charles K Atkin (1989) Public Communication Campaigns – Second Ed, Sage Publication, California.

 ---------, (2000) Nonprofit Marketing Summit Conference, Conference Report, Tampa Florida March 16-17.

 

Weinrich, Nedra Kline (1995) Building Social Marketing into Your Program, Social Marketing Quaterly, July.

 

Windahl, Sven, Benno Signitzer, Jean T Olson (1992). Using Communication Theory, Sage Publication, London.

 

 

Social Marketing sebagai Alat Perubahan Sosial (3)

Marketing Mix++ = Social Marketing

Konsep penting dalam pemasaran komersial yaitu marketing mix yang terdiri dari produk (product), harga (price), distribusi (place) dan promosi (promotion), tidak dapat ditinggalkan dalam SM. Secara prinsip konsep ini sama penerapannya dan adanya perbedaan di sana-sini adalah merupakan konsekuensi logis dari perbedaan konteks antara kegiatan komersial dan sosial. Berikut ini kosep marketing mix dalam SM :

Produk (Product). Istilah produk digunakan untuk mendefinisikan benda fisik, layanan, orang-orang, tempat, organisasi dan ide-ide. Pendefinisian produk secara kongkrit dan spesifik sangat diperlukan karena hal ini akan mempengaruhi ukuran dan komposisi pasar. Seperti yang secara jelas diungkapkan oleh Kotler (Kotler &  Andreasen, 1995) sebagai berikut :

Jika produk didefinisikan sebagai layanan kesehatan, maka pasar terdiri dari setiap orang di dunia. Jika produk didefinisikan sebagai sebuah klinik untuk perokok, maka pasarnya terdiri dari semua orang yang merokok. Jika produk didefinisikan sebagai sebuah klinik untuk perokok yang mengadakan pertemuan tiap minggu sekali di hari Rabu sore di RS Pasavant di Chicago, maka pasarnya terdiri semua perokok mampu mengakses layanan ini. Jika produk didefinisikan sebagai klinik yang sama yang menarik biaya seribu USD untuk perawatan, maka pasarnya terdiri dari semua perokok yang mampu mengakses layanan ini serta mampu membayar biaya yang ditentukan. Oleh karena itu semakin spesifik produk didefinisikan semakin kecil ukuran pasarnya.

Solomon (Frederiksen, Solomon, & Brehony,1984) telah mengamati bahwa produk atau layanan bisa didefinisikan sebagai fokus sebuah transaksi yang ada dalam pemasaran antara pemasar dan publik sasaran. Produk yang ditawarkan dalam program SM seringkali lebih sulit didefinisikan dibanding yang ditawarkan oleh sektor komersial. Sebagai contoh, kampanye SIAGA, sebuah program yang ditujukan pada para suami untuk selalu Siap, Antar dan Jaga, untuk berwaspada pada semua kemungkinan yang terjadi pada si istri yang sedang hamil. Pada program ini, produk yang ditawarkan adalah informasi. Pada dasarnya, semua suami akan siaga ketika istrinya hamil, namun apa yang perlu dilakukan dan diwaspadai, itulah yang diinformasikan dalam kampanye ini. Selain informasi tentang hal apa saja yang perlu diwaspadai, tidak ada produk lain yang ditawarkan oleh program ini (misalnya pusat pelatihan Siaga, toll free telepon untuk konsultasi dan lain-lain). Walaupun informasi tersebut dilayangkan lewat televisi, radio dan media cetak serta pamphlet. Sehingga jelas bahwa produk yang ditawarkan hanyalah informasi. Produk ini bersifat intangible.

Untuk mendekati konsep produk Kotler (1997) menunjuk pada lima dimensi utama yang bisa digunakan untuk mengkonseptualisasikan semua produk, yaitu 1) durability atau sampai dimana ketahanan produk itu, 2) complexity atau serumit apa produk tersebut, 3) visibility atau sejelas apa produk itu terlihat, 4) risk atau sebesar apa resiko penggunaan produk tersebut dan 5) familiarity atau sedekat apa produk dengan publik sasaran. Sebagai contoh program mengatasi obesitas, para ilmuwan behavioral memandang bahwa dengan mengatasi obesitas maka resiko terserang beberapa penyakit berat akan menurun. Untuk program ini ada dua kemungkinan produk yang bisa ditawarkan, pertama, program perubahan perilaku yang bertujuan untuk menghentikan pola makan yang kurang sehat dengan mendorong konsumsi makanan rendah kalori pada waktu dan tempat tertentu. Termasuk juga mengatur rangsangan nafsu makan dengan menentukan jenis makanan apa saja yang diperbolehkan ada di dalam rumah, perubahan cara makan sehari-hari dengan menambah frekuensi mengunyah atau memperlambat cara mengunyah serta memperbanyak olah raga. Kedua, operasi bypass intestinal.

Berkaitan dengan dua produk di atas, bisa kita bayangkan unsur-unsur durability, complexity, visibility, risk  dan familiarity yang dimiliki oleh masing-masing produk akan berbeda. Strategi perubahan perilaku tidak terlalu tahan lama dibanding dengan hasil yang diperoleh dari operasi, namun tidak terlalu kompleks dan beresiko, sekaligus lebih kelihatan dan familiar. Kedua produk ini, seperti produk dalam bisnis komersial, harus selalu siap untuk diperbandingkan dengan produk lain. Dalam mendefinisikan produk atau merancang produk baru, perlu juga ditentukan atribut-atribut yang sesuai dengan selera dan kebutuhan pasar sasaran. Dalam kasus ini, operasi bypass intestinal yang tadi dinilai sebagai terlalu mahal, pelaksanaannya kompleks, tidak terlalu nampak, beresiko tinggi serta tidak familiar, bisa menjadi pilihan terbaik bagi sedikit kalangan yaitu mereka yang kesehatannya sudah sangat terganggu oleh obesitas. Oleh karena itu bentuk produk sangat tergantung pada publik sasaran.

Harga (Price). Adam Smith (Rice& Atkin, 1989) mengatakan bahwa harga yang nyata dari sesuatu hal adalah sekeras apa usaha atau sebesar apa kesulitan yang harus dihadapi untuk mendapatkannya. Pertimbangan tentang harga sebagian sesuai dengan masalah-masalah di bidang sosial karena banyak biaya yang bukan bersifat finansial. Harga, dalam hal ini, bisa disamakan dengan biaya yang muncul dalam merespon ide-ide baru dalam berperilaku, yang termasuk juga biaya keuangan, biaya psikologis, biaya sosial serta biaya dalam bentuk waktu dan usaha. Ditambah lagi kampanye SM bergerak di bidang sosial dimana kewajiban-kewajibannya sangat berbeda dengan sektor swasta. Sektor swasta bisa dengan mudah meninggalkan segmen pasar yang tidak menguntungkan, sementara sektor sosial tidak mungkin melakukan itu. Bahkan justru segmen-segmen seperti itulah sasaran dari SM.

Distribusi (Place). Komponen ini mengarah pada bagaimana perencanaan organisasi supaya produk (atau layanan) yang ditawarkan tersedia di tempat tertentu dan bisa jangkau oleh publik sasaran. Sebagai contoh Program KB, titik-titik distribusi yang dipilih adalah rumah sakit, puskesmas, dokter-dokter serta  bidan yang berpraktek di rumah yang bertanda lingkaran biru. Di tempat-tempat itulah publik sasaran bisa mendapatkan produk yang ditawarkan dalam program KB. Jika produk yang ditawarkan semata-mata berbentuk informasi, jaringan distribusi 

Promosi. (Komunikasi Pemasaran). Promosi adalah bentuk komunikasi yang mencakup semua alat-alat dalam marketing mix, dimana yang berperan sangat penting adalah komunikasi persuasi. Perangkat promosi meliputi advertising, publisitas, personal selling, insentif dan atmospheric (usaha untuk merancang tempat pembelian untuk menghasilkan efek kognitif dan emosional dalam bentak konsumen). Banyak orang sering merasa bingung antara promosi (yang merupakan salah satu dari komponen pemasaran) dengan pemasaran itu sendiri. Mereka mengira pemasaran sama dengan iklan. Padahal iklan adalah salah satu dari promosi atau komunikasi pemasaran, sedangkan promosi atau komunikasi pemasaran itu adalah salah satu elemen dari bauran pemasaran.

Keputusan yang berkaitan dengan produk, place dan komunikasi pemasaran tidak saling asing, justru semuanya saling terkait. Definisi atas produk di beberapa hal, menjadi penentu dalam pemikiran tentang harga, dimana produk itu akan disampaikan dan bagaimana cara mengkomunikasikan. Perancang kegiatan SM harus mempertimbangkan hubungan antar konsep tersebut. Seorang perancang SM memahami dasar-dasar dari semua unsur tersebut dan meramunya dalam bentuk sebuah social marketing plan.

Pemaparan prinsip-prinsip dasar pemasaran menunjukkan dengan jelas berapa perbedaan dan persamaan antara dunia marketing dan ilmu sosial. Beberapa hal terlihat asing, namun sebagaian lainnya sudah sangat akrab dengan konsep-konsep ilmu sosial. Sebagai contoh, consumer benefit sama dengan reinforcement dan pertimbangan biaya (kerugian) respon, sedang istilah segmentasi sama dengan populasi sasaran.

Weinreich (www.social–marketing.com/whatis.html) menambahkan 4 P yang berikutnya sebagai berikut :

Public. Pemasar sosial seringkali harus mengarahkan programnya ke banyak publik (segmen pasar) yang berbeda demi keberhasilan program tersebut. Publik merujuk pada pengertian publik internal dan eksternal yang terlibat dalam program. Eksternal publik terdiri dari audiens sasaran, audiens sekunder, pembuat keputusan dan gatekeeper, sedangkan publik internal adalah mereka yang terlibat dalam berbagai urusan dengan program mulai dari perencanaan hingga implementasi.

Partnership. Masalah-masalah sosial dan kesehatan seringkali sangat kompleks sehingga tidak bisa ditangani oleh satu pihak saja. Untuk itu, dibutuhkan kerja sama dengan organisasi lain dalam masyarakat sehingga meningkatkan efektifitas program. Akan sangat baik bila terdapat organisasi yang mempunyai tujuan sama dengan pihak pelaksana program, sehingga akan bisa terjalin kerja sama yang saling menguntungkan. Meski demikian, tidak menutup kemungkinan bagi organisasi-organisasi yang bertujuan searah meski tidak sama benar.

Policy. Program SM mampu memberi motivasi seseorang untuk melakukan perubahan perilaku, namun sangat sulit untuk mempertahankan perilaku baru itu jika lingkungan tidak mendukung. Seringkali, perubahan kebijakan sangat dibutuhkan, dan program advokasi media bisa menjadi pelengkap yang efektif bagi program SM.

Purse Strings. (Pendanaan) Kebanyakan organisasi yang merancang program SM melaksanakan semua tahapan, dari penggalangan dana dari yayasan, bantuan pemerintah dan donasi.


Perbedaan Antara Pemasar Sosial dan Komersial

Pemasar Sosial

Pemasar Komersial

Bertujuan menganjurkan perilaku baik

Bertujuan mencari uang

Didanai oleh pajak dan donasi

Didanai oleh investasi

Mengutamakan akuntabilitas Publik

Mengutamakan akuntabilitas swasta

Kinerja sulit diukur

Kinerja diukur dengan profit dan pangsa pasar

Bertujuan pada perilaku jangka panjang

Bertujuan pada perilaku jangka pendek

Sering menawarkan perilaku yang kontroversial

Menghindari  produk/jasa yg kontroversial

Sering memilih sasaran yang beresiko tinggi

Hanya memilih sasaran yang aksesible

Pembuatan keputusan partisipatif

Pembuatan keputusan hirarkis

Hubungan berdasar kepada kepercayaan

Hubungan berdasar persaingan

(bersambung)

Social Marketing sebagai Alat Perubahan Sosial (2)

Penyebutan SM dipakai kali pertama pada sekitar tahun 1971 untuk menjabarkan penggunaan prinsip-prinsip dan teknik-teknik pemasaran untuk mempercepat penerimaan atas ide-ide perubahan perilaku sosial. SM merupakan sebuah disain, implementasi dan kontrol atas program yang ditujukan untuk meningkatkan penerimaan atas ide-ide baru yang biasanya menuntut perubahan di level kognitif, aksi, perilaku dan nilai. Di sini, digunakan konsep-konsep pemasaran seperti segmentasi pasar, riset konsumen, pembuatan konsep, komunikasi, penyediaan fasilitas, insentif dan teori pertukaran untuk mengoptimalkan respon dari kelompok sasaran.

Dalam SM terdapat empat pendekatan utama untuk menghasilkan perubahan sosial, yaitu pendekatan hukum, teknologi, ekonomi dan informasi. Sebagai contoh gerakan memakai helm. Pendekatan hukum menyediakan undang-undang untuk menempatkan orang-orang yang tidak memakai helm sebagai pelanggar hukum. Pendekatan teknologi membantu dengan melakukan inovasi sehingga masyarakat merasa nyaman, tidak terganggu, dan semakin praktis ketika mamakai helm. Pendekatan ekonomi mengarahkan pada kondisi bahwa ketika seseorang tidak memakai helm justru akan mengeluarkan biaya yang lebih tinggi dibanding mereka yang memakai helm. Misalnya dengan membedakan biaya parkir pemakai helm dan bukan pemakai helm. Sedangkan pendekatan informasi memberikan pesan-pesan persuasif yang langsung ditujukan pada pengendara sepeda motor.

Pada awalnya SM didasari oleh pendekatan informasi dalam bentuk yang umum yaitu iklan sosial atau layanan masyarakat. Seperti yang dilakukan di banyak negara, kampanye iklan layanan masyarakat seringkali hanya cukup untuk memberi motivasi agar masyarakat melakukan tindakan yang secara ide terhitung baru. Namun untuk berubahnya sangatlah tidak mencukupi karena sebuah kampanye iklan pada dasarnya merupakan hanya salah satu bagian dari kegiatan marketing. Secara umum kampanye iklan layanan masyarakat mempunyai sedikitnya tiga kelemahan. Pertama, penyusunan pesan seringkali tidak didasari riset yang cukup. Sebagai contoh, kampanye media di negara-negara berkembang yang mendorong masyarakat untuk berdiet, menemui kenyataan bahwa ternyata kelompok sasaran kurang mengetahui makanan yang mana yang sehat dan baik untuk dikonsumsi. Belum lagi ternyata harga-harga makanan yang disarankan terhitung mahal untuk mereka dan bahkan masyarakat yang tinggal di daerah pinggiran tidak bisa menemukan bahan makanan yang dimaksud. Kedua, banyak orang memilih-milih pesan yang akan dipersepsi (selective perception), kemudian muncul adanya distorsi dan akhirnya cepat melupakannya. Komunikasi massa kurang memiliki pengaruh langsung pada perilaku dan pengaruh yang lebih besar justru dipegang oleh para opinion leader. Ketiga, banyak orang tidak tahu apa yang harus dilakukan setelah menerima pesan. Misalnya, pesan anti rokok : “Merokok menyebabkan kematian”, tidak serta merta membuat perokok mampu menemukan cara yang baik untuk bisa menghentikan kebiasaan merokok.

Ketika kekurangan-kekurangan tersebut disadari, iklan sosial berubah ke arah pendekatan yang lebih luas yang dikenal sebagai social communication. Social communication bergerak lebih jauh dibanding dengan social advertising, dengan melibatkan penggunaan personal selling (agen program) untuk melengkapi beberapa kekurangan tadi. Dan SM melakukan penyempurnaan lebih lanjut dengan mengisi semua celah dengan secara penuh menerapkan aspek-aspek pemasaran ke dalam kegiatan kampanye sosial untuk lebih mengoptimalkan keberhasilan sebuah perubahan sosial. SM setidaknya menambahkan empat elemen penting yang tidak ditemui dalam pendekatan social communication. Empat elemen itu adalah :

Pertama, marketing research digunakan untuk mengetahui lebih detil tentang pasar dan efektifitas dari pendekatan pemasaran yang mungkin dilakukan. Kampanye iklan sosial yang lakukan tanpa riset pemasaran yang dilakukan secara detil dan hati-hati hanya merupakan pemborosan dana besar-besaran. Oleh karena itu, perancang program SM  anti rokok pasti akan mempertimbangkan ukuran pasar rokok, segmen pasar utama dan karakter perilaku masing-masing segmen serta perimbangan cost-benefit dalam mengarah pada segmen-segmen yang berbeda atau merancang kampanye yang khusus untuk masing-masing segmen.

Kedua, product development. Sebagai antisipasi atas masalah yang timbul dalam mengajak orang-orang untuk berhenti merokok, para praktisi periklanan sosial bahkan social communicator menggunakan daya tarik kesehatan, keuntungan finansial (penghematan bila berhenti merokok) atau hal lain yang bisa dikaitkan. Namun pelaku SM, melangkah lebih lanjut untuk mempertimbangkan merancang sebuah produk yang mungkin diproduksi, misalnya buku panduan berhenti merokok yang dirancang oleh dokter atau bahkan rokok rendah nikotin dan tar. Dengan kata lain, apabila mungkin, pelaku SM tidak akan terpaku dengan produk yang telah ada dan mencoba untuk menjualnya (sales approach) namun lebih dari itu, mencari kemungkinan produk terbaik untuk memenuhi kebutuhan (marketing approach).

Ketiga, pemberian insentif. Para praktisi social communication menitikberatkan pada perancangan pesan yang mendramatisir keuntungan atau kerugian suatu perilaku yang dikampanyekan. Sedangkan praktisi SM melangkah lebih lanjut dengan merancang juga pemberian insentif tertentu untuk meningkatkan derakat motivasi. Sebagai contoh, dalam program pemberian imunisasi, masyarakat yang mendatangi titik-titik pelayanan akan dibagikan sebuah cindera mata untuk anak sebagai penarik minat. Cara ini identik dengan cara-cara yang dipakai dalam aktifitas sales promotion.

Keempat, penyediaan fasilitas. Waktu dan tenaga merupakan investasi yang penting bagi setiap orang yang berusaha mengubah perilakunya, oleh karena itu praktisi SM mempertimbangkan cara untuk membuat hal itu semakin mudah. Sebagai contoh, sebuah kelas program bebas rokok harus mudah dijangkau, nyaman dan dipandu secara profesional. Perancang program SM harus selalu memahami bahwa perancangan layanan yang merupakan tindak lanjut dari efek pesan yang disampaikan lewat komunikasi massa sangatlah  penting.   (bersambung)

Social Marketing sebagai Alat Perubahan Sosial (1)

Usaha-usaha untuk mengarahkan keyakinan, sikap, nilai dan perilaku suatu kelompok sasaran mempunyai berbagai sebutan. Kalangan kiri terbiasa dengan menyebut sebagai kegiatan propaganda. Sedangkan para pelaku dan pendukung kegiatan itu memakai istilah pendidikan. Pada dasarnya kegiatan semacam ini sangatlah biasa, dan bisa ditemui di semua negara. Masing-masing mempunyai alasan dan tujuan berbeda sesuai dengan sudut pandang tiap negara. Di negara yang totaliter, hanya satu kelompok yang diijinkan melakukan kegitan penyebaran ide, yaitu pihak penguasa, dengan alasan kepentingan negara. Sehingga hanya ada satu jenis ide yang ditawarkan di pasar ide. Sedangkan di negara lebih terbuka, semua kelompok berhak untuk melakukan hal itu sesuai dengan sudut pandang masing-masing. Dengan demikian terdapat lebih dari satu ide yang ditawarkan di pasar ide.

Para pengusung ide ke pasar disebut dalam banyak nama, propagandist, agitator, pemimpin kharismatik, publicist, lobbyists, agent of change dan lain-lain. Dalam pengertian sempit, tugas mereka adalah membuat dan menyebarkan pesan persuasi. Namun bagaimanapun juga komunikasi yang efektif hanyalah bagian dari keseluruhan kegiatan yang dibutuhkan agar suatu ide bisa diterima pasar. Penerimaan terhadap suatu ide, seperti juga penerimaan terhadap suatu produk/servis apa saja, membutuhkan pemahaman yang mendalam atas kebutuhan (needs), persepsi, preferensi, kelompok referensi dan pola perilaku dari kelompok sasaran. Selain itu, dibutuhkan juga penyusunan beberapa hal berikut : pesan, media, biaya dan fasilitas yang dibutuhkan untuk meningkatkan penerimaan atas ide. Menurut Kotler dalam Frederiksen, Solomon dan Brehony (1984), usaha-usaha ini disebut dengan istilah social marketing (SM). SM menawarkan sebuah sistem konseptual yang efektif untuk memecahkan suatu masalah sosial dengan memberi perubahaan di tingkat ide atau bahkan perilaku pada publik sasaran.

Para commercial marketer yang sejak lama menggunakan konsep marketing untuk meningkatkan penjualan. Mereka juga seringkali harus berfikir keras untuk bis “berkata manis” pada konsumen. Seringkali mereka justru terlihat menipu konsumen. Dan saat ini, mereka berangsur-angsur mengaitkan berbagai produk mereka dengan ide-ide tentang bagaimana masyarakat seharusnya menjalani hidup. Pemasar mobil mengemukakan bahwa mobil keluarga yang dijualnya merupakan perwujudan rasa tanggung jawab suami pada istri dan keluarga, pilihan anak yang paling tepat, serta wujud rasa sosial mereka karena bisa menampung kerabat lain. Sebuah rokok kretek mengungkapkan keutamaan rasa hormat pada orang tua dan komitmen pada kemanusiaan yang dikaitkan dengan merek tersebut. Sedang rokok yang lain menonjolkan rasa persahabatan yang erat dan hangat di tengah keceriaan kehidupan remaja.

Lalu bagaimana dengan ide-ide menjalani hidup yang lebih baik tanpa dikaitkan dengan merek-merek produk atau layanan komersial? Apakah kita bisa memasarkan ide tertib lalu lintas, anti korupsi, anti pornografi, peduli lingkungan sebagai mana adanya ide tersebut? Mungkin SM bisa memberi alternatif untuk mengarahkan perubahan sosial ke arah yang diinginkan. (bersambung)

TVC PKS : Iklan cerdas sekaligus berbahaya

Iklan TV (TV Commercial) terbaru Partai Keadilan Sejahtera sangat cerdas dan menarik. Untuk melebarkan segmen, iklan ini menggunakan representasi segmen yang dituju dengan dibarengi menampilkan singkatan PKS dengan berbagai macam kepanjangan, sesuai dengan segemen sasaran. Teknik yang pertama biasa saja. Namun penggunaan teknik menampilkan singkatan yang bermacam-macam sesuai dengan kepribadian, karakter serta concern segmen sasaran, cerdas dan sangat menarik. Segmen sasaran dengan mudah mengidentifikasi dirinya dengan salah satu versi kepanjangan dari PKS. 

Iklan jenis ini secara sangat cerdas menuntun segmen sasaran untuk menyesuaikan kepanjangan yang mana yang sesuai dengan dirinya. Penonton iklan akan merasa bahwa ternyata PKS tidak hanya kependekan dari Partai Keadilan Sejahtera yang sudah terbentuk citra tertentu di masyarakat (bahkan di dalam kepalanya) seperti yang salama ini, namun juga bisa seperti ini (beberapa versi kepanjangannya). 

Sisi bahayanya adalah ketika proses psikologis ini tidak hanya berhenti ketika penonton menemukan kepanjangan singkatan PKS yang paling sesuai dengan dirinya, namun dia tetap terus merangkai-rangkai kata-kata yang sesuai dengan PKS. Penonton tidak lagi peduli apakah kepanjangan itu relevan dengan citra yang diinginkan PKS. Biasanya justru kepanjangan yang lucu atau aneh lah yang seringkali menjadi arah para penonton ini. Mengapa kegiatan ini menarik bagi penonton? Secara kultural, orang Indonesia suka memparodikan sesuatu yang dianggapnya tidak sesuai dengan dirinya, namun cukup kemampuan (power) untuk mengekspresikannya. Kultur itu oleh masyarakat diwujudkan dalam parodi yang banyak muncul di media-media. Pada jaman Orba, media takut memuat parodi-parodi semacam ini, namun biasanya muncul di pagelaran teater, baik komunitas, kampus maupun profesional. 

Selain itu, iklan versi ini akan menjadi makanan empuk bagi para pesaing yang dengan leluasa memilih kepanjangan dari PKS dengan kata-kata yang biasanya bermakna buruk dan sarkastik. Pihak-pihak ini akan memiliki pembenaran, karena akan berdalih PKS bukan tentu semata-mata mengarah ke Partai Keadilan Sejahtera, tapi juga ada yang lain sesuai dengan iklannya. Banyak alasan dan dalih untuk hal ini, karena dasarnya adalah rasa tidak suka. 

Simpatisan yang sejati tentu saja tidak akan terpengaruh dengan kepanjangan versi apapun, baik yang dibuat oleh PKS atau pihak lain. Namun iklan ini telah membuka peluang bagi pihak luar yang bermaksud buruk untuk merusak citra PKS dengan kepanjangan yang tidak pada tempatnya. Iklan yang cerdas sekaligus berbahaya...