Rabu, 22 Oktober 2008

Iklan Layanan Masyarakat dgn Pejabat yg Nampang

10 tahun (lebih ) reformasi telah berlalu. Namun, coba perhatikan iklan-iklan layanan masyarakat yang dibuat oleh instansi pemerintah (terutama , misalnya : tentang pembuatan NPWP oleh depkeu, flu burung oleh depkes dan lain-lain), kebanyakan ada pejabat terkait entah itu menteri, dirjen atau lainnya ikut nampang di akhir iklan. Tidak berbeda dengan iklan2 sejenis di masa ORBA. 
Menilik informasi yang disampaikan, secara esensi biasanya sangat penting dan jarang terkait dengan klaim keberhasilan institusi, namun lebih banyak pada informasi penting tentang program pemerintah atau masalah genting seperti flu burung. Lepas dari itu semua, bila kita 'baca' iklan layanan masyarakat tersebut secara keseluruhan, ada pola yang belum ditinggalkan, yaitu kesan 'menyuruh'. Secara detail, yang menyebabkan kesan itu adalah munculnya pejabat terkait di akhir iklan. Secara detail, hingga pada scene sebelum pejabat muncul, pesan yang disampaikan masih Oke. Sayangnya, itu tadi.... si pejabat muncul dan memotong proses mental pemirsa dalam menginternalisasi pesan dan kembali tersadar bahwa ini adalah himbauan pemerintah. Dan jangan lupa, munculnya pejabat ini mengaktifkan memori pemirsa pada ORBA dan ORBA memiliki stigma yang negatif. Dan titik inilah yang membangkitkan segala memori yang berdasar pada pengalaman pemirsa yang pernah hidup 'menderita' di bawah ORBA. Jika pengalaman itu menyakitkan, proses ini akan memBlok proses positif selanjutnya. Hal ini seperti pembeli yang sudah akan membayar makanan untuk dibawa pulang, tapi terhenti gara-gara penjual kentut. Karena pembeli teringat kentut itu berasal dari 'mana' dan berfikir jangan-jangan saat membuat makanan itu, penjual ini juga kentut berkali-kali. Padahal kentut di muka umum adalah simbol ketidaklengkapan etika, bisa jadi ada hal-hal 'di luar etika' yang dilakukan oleh penjual ini saat pembuatan makanan dan seterusnya.... dan seterusnya......
Memori chain yang seperti itulah yang sulit kita tebak akan mengalir kemana. Oleh karena itu, setiap icon, baik itu berupa tanda, gambar, warna, wujud, tokoh, peran, gaya dan lain-lain, perlu dipilih secara seksama supaya aliran rantai memori tidak mengalir ke arah yang sama sekali tidak kita inginkan. Terutama kalau arahnya ke munculnya kesan negatif. 

Sabtu, 18 Oktober 2008

Pasar Politik, Politik Pasar

Tiga kali pemilu telah berlalu, semakin banyak kontestan yang menerapkan konsep political marketing. Sebagai pengamat amatir atau juga sasaran kampanye, tentu saja kita menjadi lebih nyaman dibanding jaman Orba yang kurang memperhatikan selera pasar. Nah, istilah pasar mulai dipakai di sini. Istilah yang biasanya disebut sebagai konstituen di bidang politik. Apa sih kelebihan dari political marketing, sampai-sampai para kontestan menerima konsep konsultan masing-masing dengan konsep ini? Sebenarnya kita sudah akrab dengannya, lihat saja berbagai brand yang beredar di pasar. Mereka juga melakukan kampanye, hanya saja di bidang komersial untuk mengejar profit (btw banyak juga yang kejar profit di politik). Berbagai brand melakukan urutan riset untuk mendapatkan informasi tentang konsumennya. Mulai dari needs, wants, SES, tempat nongkrong, konsumsi media, alokasi waktu dalam sehari-semingu-setahun, hingga pada impian dan obsesi serta lain sebagainya. Intinya semua info tentang konsumen. Semakin lengkap semakin baik. Setelah informasi terkumpul dan digunakan untuk berbagai keperluan mulai dari new product/service development, termasuk disain dan kemasan, lalu penentuan harga, cara distribusi hingga jaringannya, dan penentuan isi dan cara komunikasinya.

Dalam political marketing, prinsip itu digunakan meski dengan berapa penyesuaian. Kalau dalam commercial marketing, yang ditawarkan untuk dibeli adalah brand tertentu, namun kalau di sini yang ditawarkan adalah calon presiden, kepala daerah atau anggota legeslatif. Oleh karena itu alur prosesnya juga sama mulai dari riset konsumen sampai sosialisasi (kampanye/marketing communication/promosi).

Penerapan konsep itulah yang mendasari berbagai kegiatan komunikasi yang kita saksikan dan rasakan sekarang. Dibanding dengan kampanye gaya Orba, tentu saja sangat berbeda, karena terasa lebih humanis, sesuai dengan keinginan dan selera konsumen. Iklan-iklan yang digarap serius (meski ada yang sebaliknya), penampilan kandidat dirancang seksama beserta semua aspek penyusun image.  Mulai dari awal kandidat dirancang untuk sesuai dengan impian voter. Voter mimpi tentang presiden yang seperti ksatria budiman, ke sanalah kandidat dibentuk. Voter mimpi hidup makmur, kandidat menjanjikan kemakmuran. Voter banyak yang miskin, kandidat selalu merangkul orang miskin di manapun dia tampil. Hingga communication channel dipilih sesuai dengan selera voter, cara penyampaian serta isi pesan, semua sesuai dengan apa yang voter mau…

Nah sampai titik ini, penerapan political marketing telah membawa politik Indonesia pada politik pasar, yang mendewakan pasar sebagai penentu haluan politik. Sekarang tidak ada sama sekali yang mempedulikan pada pentingnya landasan ideologi . Pembicaraan ideologi politik jadi basi, diterjang cara berfikir pemasaran tentang pasar. Selama pasar suka dan membeli (memilih), go on! 

iklan kenalan capres

Sehari-hari di depan tv, kita tak bisa mengelak dari iklan para capres yang sedang gencar ngajak kenalan. Ada yang dengan jelas di awal menyebut nama "Saya Prabowo Subianto....dst", ada yang ngomong ngalor ngidul dengan visualisasi kedekatannya dengan rakyat di berbagai pelosok kampung dan sawah...(masak sih gak deket dengan yang ber-jaguar...) ada yang dengan malu-malu namun akhirnya gambarnya jelas muncul dengan pose yang agak kaku. 
Mengenai frekuensi tayang, jangan ditanya, saingan dengan produk-produk Fast Moving Consumer Goods! Barangkali mereka mengira semakin tinggi frekuensi dan banyak versi iklan pasti mereka akan juga jadi Fast Moving! Kalau benar, bayangkan saja betapa fast mereka moving, dalam arti berapa banyak voter yang memilih mereka. Namun sebentar, apakah benar mereka ini telah dengan sangat meyakinkan telah bisa memenuhi needs dan wants voter sebagai konsumen? 
Mereka menawarkan berbagai janji yang kalau diperhatikan mirip satu dengan yang lain, yaitu : Anda rakyat miskin akan saya jadikan lebih makmur, kuat beli ini dan itu. Pada saat orang sedang lapar dan pusing dengan semua harga yang sedang mendaki gunung, impian hidup enak pasti menarik. Namun kalau saja para konsultan komunikasi mereka mau mendalami benak para voter, mereka akan menemukan bahwa voters sekarang demikian cerdas dan sebagian ditambah dengan sifat pragmatis. Pertanyaan yang sering muncul adalah : gimana caranya dia bisa tepati janji? mana mungkin makmur, yang di atas belon brenti korupsi! Semua mah bilang geetoo pas kampanye! Bodo deh, yang penting uangnya berapa? Beragam, tapi apabila dicermati ada pemikiran kritis dan juga berfikir apa keuntungan buat dirinya. Tidak semua orang (bahkan banyak) yang tidak berfikir serius (high involvement) karena bisa jadi gak mau (karena berbagai macam hal), karena gak mampu (tidak cukup informasi yang dibutuhkan, tidak cukup kemampuan berfikir dll) sehingga terpaksa hanya mampu berfikir sambil lalu (low involvement). Bagi anggota masyarakat yang mampu berfikir serius, mereka akan mengevaluasi berbagai informasi yang telah mereka miliki (stock of knowledge) untuk memverifikasi stimuli dari luar (iklan capres). 
Sementara itu, bagi yang tidak mampu, akan berpikir ala kadarnya (tidak serius) dan berusaha mencari clue untuk dijadikan alasan membuat keputusan. Nah di titik inilah para empu iklan berusaha menyentuh hati mereka dengan berbagai macam aspek audio dan visual. Maka lahirlah alasan mereka beradu romantis membujuk rakyat. 
Pertanyaan yang menggelitik : kenapa ya mereka tidak terlebih dahulu merumuskan pikiran dulu dalam sebuah konsep country management yang ditawarkan yang mendasarkan pada ideologi yang jelas dalam sebuah buku, seperti para pendahulu kita (Soekarno, Hatta, Tan Malaka dll). Sebaliknya mereka adu keren lewat iklan. Mereka kira iklan adalah segalanya, padahal iklan hanya satu dari berbagai marketing communications tools aja kan...