Sabtu, 18 Oktober 2008

Pasar Politik, Politik Pasar

Tiga kali pemilu telah berlalu, semakin banyak kontestan yang menerapkan konsep political marketing. Sebagai pengamat amatir atau juga sasaran kampanye, tentu saja kita menjadi lebih nyaman dibanding jaman Orba yang kurang memperhatikan selera pasar. Nah, istilah pasar mulai dipakai di sini. Istilah yang biasanya disebut sebagai konstituen di bidang politik. Apa sih kelebihan dari political marketing, sampai-sampai para kontestan menerima konsep konsultan masing-masing dengan konsep ini? Sebenarnya kita sudah akrab dengannya, lihat saja berbagai brand yang beredar di pasar. Mereka juga melakukan kampanye, hanya saja di bidang komersial untuk mengejar profit (btw banyak juga yang kejar profit di politik). Berbagai brand melakukan urutan riset untuk mendapatkan informasi tentang konsumennya. Mulai dari needs, wants, SES, tempat nongkrong, konsumsi media, alokasi waktu dalam sehari-semingu-setahun, hingga pada impian dan obsesi serta lain sebagainya. Intinya semua info tentang konsumen. Semakin lengkap semakin baik. Setelah informasi terkumpul dan digunakan untuk berbagai keperluan mulai dari new product/service development, termasuk disain dan kemasan, lalu penentuan harga, cara distribusi hingga jaringannya, dan penentuan isi dan cara komunikasinya.

Dalam political marketing, prinsip itu digunakan meski dengan berapa penyesuaian. Kalau dalam commercial marketing, yang ditawarkan untuk dibeli adalah brand tertentu, namun kalau di sini yang ditawarkan adalah calon presiden, kepala daerah atau anggota legeslatif. Oleh karena itu alur prosesnya juga sama mulai dari riset konsumen sampai sosialisasi (kampanye/marketing communication/promosi).

Penerapan konsep itulah yang mendasari berbagai kegiatan komunikasi yang kita saksikan dan rasakan sekarang. Dibanding dengan kampanye gaya Orba, tentu saja sangat berbeda, karena terasa lebih humanis, sesuai dengan keinginan dan selera konsumen. Iklan-iklan yang digarap serius (meski ada yang sebaliknya), penampilan kandidat dirancang seksama beserta semua aspek penyusun image.  Mulai dari awal kandidat dirancang untuk sesuai dengan impian voter. Voter mimpi tentang presiden yang seperti ksatria budiman, ke sanalah kandidat dibentuk. Voter mimpi hidup makmur, kandidat menjanjikan kemakmuran. Voter banyak yang miskin, kandidat selalu merangkul orang miskin di manapun dia tampil. Hingga communication channel dipilih sesuai dengan selera voter, cara penyampaian serta isi pesan, semua sesuai dengan apa yang voter mau…

Nah sampai titik ini, penerapan political marketing telah membawa politik Indonesia pada politik pasar, yang mendewakan pasar sebagai penentu haluan politik. Sekarang tidak ada sama sekali yang mempedulikan pada pentingnya landasan ideologi . Pembicaraan ideologi politik jadi basi, diterjang cara berfikir pemasaran tentang pasar. Selama pasar suka dan membeli (memilih), go on! 

3 komentar:

Communications Overtune mengatakan...

Artikel yang menarik Mas Djoko, tapi sepertinya bahkan pengenalan pasar pun tidak dilakukan dengan baik oleh 'sang tokoh' politik kita. Kesan generik dan 'me too' justru banyak bertaburan dan membuat konsep komunikasi sang politisi apakah itu Cagub, Capres, Cabup, dan para calon pengisi kursi perpolitikan kita terkesan sama. Sama-sama jual wajah cekap, sama-sama ingin 'mendekatkan diri' pada petani..
Sepertinya konsep marketing politik dipahami sebagai 'jualan' politik, yang penting laku...ngga memandang siapa yang diajak bicara.
Hhmm...serasa melihat pemasaran Mie Instan cepat saji. Tapi, kalau mie instan ngga diprotes (kalau rasanya kurang pas, atau ngrebusnya butuh waktu lama) si tokoh politik bakalan diprotes abis kalau 4thn kepemimpinannya ngga sesuai dengan janji.
Politik oh politik...

Anonim mengatakan...

Pengalaman pembantuku yang pertama kali nyoblos, dia seneng capres karena keren dan tinggi besar seperti impiannya tentang pacar impiannya. Baik hati, lemah lembut, dan tidak suka menyudutkan capres lain. Bukan masalah yang ada kaitannya dengan bagaimana kinerja dia sebelumnya, pas menjabat sebelum nyalon dan pandangan politiknya. Hal yang dipertimbangkan mirip ketika dia mau milih Indonesian Idol.... Ini kesalahan parpol yang tidak bisa melakukan pendidikan politik pada masyarakatnya...

Irul - Kendal

Anonim mengatakan...

Gak usah pembantu, saya aja gitu.... hehe


Anang - Magelang