Menilik informasi yang disampaikan, secara esensi biasanya sangat penting dan jarang terkait dengan klaim keberhasilan institusi, namun lebih banyak pada informasi penting tentang program pemerintah atau masalah genting seperti flu burung. Lepas dari itu semua, bila kita 'baca' iklan layanan masyarakat tersebut secara keseluruhan, ada pola yang belum ditinggalkan, yaitu kesan 'menyuruh'. Secara detail, yang menyebabkan kesan itu adalah munculnya pejabat terkait di akhir iklan. Secara detail, hingga pada scene sebelum pejabat muncul, pesan yang disampaikan masih Oke. Sayangnya, itu tadi.... si pejabat muncul dan memotong proses mental pemirsa dalam menginternalisasi pesan dan kembali tersadar bahwa ini adalah himbauan pemerintah. Dan jangan lupa, munculnya pejabat ini mengaktifkan memori pemirsa pada ORBA dan ORBA memiliki stigma yang negatif. Dan titik inilah yang membangkitkan segala memori yang berdasar pada pengalaman pemirsa yang pernah hidup 'menderita' di bawah ORBA. Jika pengalaman itu menyakitkan, proses ini akan memBlok proses positif selanjutnya. Hal ini seperti pembeli yang sudah akan membayar makanan untuk dibawa pulang, tapi terhenti gara-gara penjual kentut. Karena pembeli teringat kentut itu berasal dari 'mana' dan berfikir jangan-jangan saat membuat makanan itu, penjual ini juga kentut berkali-kali. Padahal kentut di muka umum adalah simbol ketidaklengkapan etika, bisa jadi ada hal-hal 'di luar etika' yang dilakukan oleh penjual ini saat pembuatan makanan dan seterusnya.... dan seterusnya......
Memori chain yang seperti itulah yang sulit kita tebak akan mengalir kemana. Oleh karena itu, setiap icon, baik itu berupa tanda, gambar, warna, wujud, tokoh, peran, gaya dan lain-lain, perlu dipilih secara seksama supaya aliran rantai memori tidak mengalir ke arah yang sama sekali tidak kita inginkan. Terutama kalau arahnya ke munculnya kesan negatif.
1 komentar:
Halo Bos!
Ya, sepertinya nampang lebih menjadi alasan daripada berpikir jauh soal efek komunikasi atau rantai memori (wah ini baru). Nampang sebagai bukti kalau dia ada dan jadi 'pimpro.' Beberapa diantaranya berharap bisa naik pangkat atau kepilih jadi caleg atau pejabat politik lainnya.
Kadang juga karena creative director yang ngerjain proyek ini hanya berpikir yang penting proposal gol, tanpa pertimbangan lebih jauh. Yang lain, juga karena bos-bos itu demam kecanggihan digital printing yang bisa mencetak foto wajah sebesar itu. Jadi bayangannya dia itu sejajar dengan Sophia Latjuba, Ferry Salim atau Mbah Maridjan. Saya tulis di blog saya (www.amintr.wordpress.com) sebagai narsisisme.
Semoga ngga menambah kepusingan Anda karena melihat pasfoto dijalan-jalan.***
Posting Komentar